Minggu, 04 Februari 2018

Merah





Ia mencintai warna merah!
Dan kini warna itu membalutnya dengan cinta pula. Tubuh yang bersimbah darah. Merah. Merembesi tanah tempat ia terkapar tanpa daya di antara rimbun belukar tepi jalan entah. Ia meringkuk dengan punggung melingkar ke samping kanan dan kedua tangan memegangi perutnya yang robek dihunjam senjata tajam; darah mengucur deras tanpa bisa ia hentikan. Matanya yang panas dan menyisakan tangis, terpejam. Erangnya tak lagi keluar. Meski nyeri itu amat memedihkan, ditambah rajaman deras hujan di malam gelap tanpa panduan jam. Dengan sesekali kilat dan guntur menggelegar.

DALAM ketidakberdayaan di malam asing dan teramat dingin, ia mencoba menghimpun segenap sisa akan hitungan jarak menuju maut yang samar. Pukul berapa sekarang? Asin. Darah dari hidung dan kepalanya melewati garis bibir, dihantarkan air hujan yang membekukan. Sisa darah dari dalam mulutnya telah ia muntahkan; anyir. Ia menggigil dengan mata separuh terbuka ke samping. Gelap! Nanar! Ia pening dan demam dan ketakutan.
Di mana sekarang? Ia tidak tahu. Jauh dari permukiman apalagi kerlip cahaya listrik. Sekeliling hanya belukar, di atasnya ada jalan beraspal, di bawahnya jurang kecil menuju sungai yang siap melahap tubuhnya jika sedikit saja salah gerak dan tergelincir. Tanah di sekelilingnya basah dan licin. Warna hitam campur merah darah dari tubuhnya yang kian lemah. 
Allah...,” hanya itu yang terucap dengan lirih dan perih.
Jilbabnya yang merah basah oleh hujan, namun tetap erat melingkari kepalanya yang berdarah. Dan blusnya, blus warna merah yang dibelikan ibunya dengan uang gaji yang ia titipkan karena tak sempat belanja baju lagi sejak dihantam rutinitas pekerjaan harian yang menyesakkan; blus itu cantik dengan kerah cina, menutupi pinggulnya. Sedang bagian dadanya berlapis kain abu-abu berbentuk oval. Seluruhnya dominan merah dengan bordiran bunga hitam di tengah, dan di bagian bawah ada semacam belahan vertikal berlapis kain abu-abu yang senada dengan bagian dada, dan bordiran cantik bunga merah di atas kain abu-abu pula.
Blus itu cantik. Warna merah yang kini pahit. Ada robek memanjang di tengah, di bagian perutnya. Percuma darah itu coba dibendung dengan kedua tangannya; tetap saja deras mengucur. Barangkali ia akan  segera mati karena kehilangan banyak darah. Dan di sekitar tak ada orang selain deru kendaraaan yang sesekali terdengar membelah malam. Kepada siapakah ia meminta pertolongan?  
Allah....” Lirih ia asmakan Zat Agung dengan mata yang kini pejam dan tangis berlinang. Adakah harap agar ia selamat karena Sang Maha Iradat? Ia tidak tahu apakah layak berharap. 
Malam yang dingin. O, betapa ganjil. Ia tersesat di tempat yang sama sekali tak pernah diingin. Dalam deras hujan. Kilat yang sesekali membelah langit, lalu gelegar guntur. Ia kian kuyup dalam gigil. Celana panjangnya yang hitam tak mampu menahan rembesan air. Segalanya basah dan mengalir. Begitu pun sepatu pantofel hitam dan kaus kaki Bubblegummers merah jambu. Tubuhnya dirasa memar-memar dan membiru.
Allah....” Kali ini ia membuka matanya dengan menyipit, menahan tempias hujan dan sekian rajam sakit. Mencoba melihat sekitar dalam jarak sejauh pandang yang ia bisa. Mereka adakah malaikat maut dengan jubah hitam berkelebat, mengintai diam-diam atau terang-terangan. Namun gelap semata. Cuma bayang belukar dan pohon-pohon tua di atasnya. Ia sendirian.
Sendirian. Ya, sendirian. Beginilah ia. Si periang yang hangat, ramah, supel, terbuka, tak sok jaim, selalu welcome pada siapa saja meski sesekali bisa kaku, galak, tegas, dan emosional; kini terdampar di jalanan tanpa daya. Tanpa kawan apalagi keluarga. Hanya bayang-bayang Tuhan yang kian samar, juga aroma kematian dan udara lembab; timbul tenggelam.
Pukul berapa sekarang? Pasti sudah lewat tengah malam. Entah sudah berapa jam ia terkapar. Arlojinya telah dirampas. Begitu pun tas Sophie Martin warna cokelat yang isinya cuma buku-buku, alat tulis, dompet tisu berbahan batik motif cokelat dari Hesti kawan sekomunitas penulis, serenceng kunci, dan pernik lain khas perempuan. Tak ada barang berharga di tasnya. 
Ia tak punya ponsel, benda elektronik, atau semacamnya. Dompetnya hanya berisi uang tiga puluh ribu rupiah lebih, ditambah KTP dan beberapa kartu nama. Dompet Bracini warna cokelat itu merupakan hadiah milad dari seorang Nana, kawan SMP-nya; kini hilang dirampas, sebagaimana terampasnya sebagian kenangan berupa foto ayah-ibunya berikut beberapa kawan di dalamnya.
Apa yang terjadi hingga ia bisa seperti ini? Takdirkah yang menggerakkan musibah itu? Atau semua semata salahnya sendiri?
Astagfirullah,” ia beristigfar mengingat semua muasal yang melahirkan sesal.
Tadi ia dari GSPI, Griya Seni Popo Iskandar, di daerah Ledeng dekat kampus UPI. Menghadiri acara launching antologi puisi. Datang sendiri. Berkumpul dengan beberapa kawan dekatnya dengan riang tanpa firasat tak mengenakkan. Acaranya mulai jam 19.30 WIB. Ia datang sebelum magrib untuk salat di sana sekalian mencermati keindahan lukisan Popo Iskandar yang terpajang di galeri. Ia ingin mencerap keindahan garis dan warna Popo meski tak paham lukisan. Lalu pukul 20.30, ia pamit. 
Ada seorang kawan lelaki yang menawarkan diri untuk mengantar, Keanan si seniman bohemian, namun ia tolak dengan alasan tak ingin merepotkan. Lagi pula, Keanan tinggal di Bandung Utara, daerah Lembang; ia di bagian selatan, lebih tepatnya Bandung Tengah, Wilayah Kiaracondong yang panas dan padat dengan permukimam, pabrik-pabrik, jalan layang, dan sekira satu jam perjalanan. 
Tak ada kawan sejurusan untuk pulang, apalagi berniat pulang di tengah hangat acara beberapa penyair terkenal. Jadi ia pulang sendiri. Diantar Keanan yang khawatir, untuk mencegat angkot Ledeng-Margahayu yang berwarna biru di jalan raya. Sayangnya setelah ditunggu sekian lama, angkot tersebut tak kunjung muncul juga. Kendaraan itu memang jarang jika sudah malam, kalaupun ada, biasanya selalu penuh penumpang.
“Sebaiknya naik angkot lain saja.” Ia melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Sudah nyaris jam sembilan kurang lima menit.
“Sebaiknya aku antar saja.” Keanan mendesak. Mereka cukup akrab meski kadang kaku dan berjarak.
“Aku akan baik-baik saja, Kean.” Ia berkilah. Lalu dicegatnya angkot hijau jurusan Ledeng-Cicaheum yang kebetulan kosong. Cuma ada seorang penumpang lelaki di samping sopir. Ia bisa ganti angkot di tempat lain.
Assalammualaikum....” Ia segera meloncat naik dengan bismillah dalam hati, lalu duduk di sudut kanan bagian belakang.
Wa alaikum salam. Hati-hati!” seru Keanan sambil melambai. Ada nada cemas di suaranya. Namun ia cuma tersenyum, balas melambai. Lalu angkot melaju. Meninggalkan bayang-bayang Keanan yang mengecil di malam lengang sampai sosoknya menghilang. Tak ada firasat apa-apa. Ia tenang-tenang saja. Lalu di setengah perjalanan, angkot dihentikan empat orang penumpang. Semuanya lelaki. Penampilan mereka sangar dan acak-acakan, tipikal preman jalanan. Ada aroma sengak menguar. Ia cemas. Firasat tak enak menyergap.
***

APAKAH hidup manusia harus berakhir dengan tragis setelah sepanjang usia menelan sekian tragedi campur parodi.
“Jangan suka keluyuran dan pulang malam,” demikianlah ibunya selalu bilang. Dasar bandel ia abai. Terbiasa kerja sampai malam membuatnya tak peduli akan siang dan malam. Apalagi cuaca. Tiap hari sama saja: kerja 12 jam lebih minus libur, alias 7 hari seminggunya! Itu dulu sebelum ia memutuskan memilih jalan lain untuk jadi penganggur terselubung. Kembali bergabung dengan kawan-kawan komunitas penulis di kota kelahirannya.
Hidup adalah semacam pilihan, demikian ia yakin untuk memutuskan kehendak akan masa depan. Maka bergeraklah ia mengikuti alur takdir.
Takdir?
Takdir itukah yang membuatnya terkapar di tepi jalan entah pada malam jahanam. Menunggu Izrail yang membuatnya seakan dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckett yang membuatnya mual. Namun siapkah ia menyambut Izrail? Seperti apakah Tuan Malaikat yang telah merenggut nyawa ayahnya, 9 tahun silam kala ia masih 3 SMU? Ia ingin bertemu.
Bagian mana dari rohnya yang akan lebih dulu ditarik? Kaki, kepala, ubun-ubun, tangan, dada, atau perutnya? Ia tidak tahu. Semuanya nyeri. Tubuhnya lunglai. Tak ada tenaga tersisa. Cuma lafal doa. Tobat dan mohon ampun pada Zat Penggenggam kehidupan dan kematian; dalam dada. Ia ingin berjumpa dengan-Nya.
Lalu bayang-bayang itu berpantulan. Bayang-bayang kenangan. Kamar yang hangat dan nyaman. Sajadah merah. Lampu belajar warna merah. Tumpukan buku, koran, kertas, jurnal, dan majalah. Sebagian buku bersampul merah.
Mengapa merah? Seperti genangan darah. Ingatan lain menyerbu dari berbagai arah. Minta diurai, minta diberi makna. Akan ingatan yang pada akhirnya lekang karena pemilik kenang meregang untuk menghuni makam. 
Satu nama, satu sosok mendadak berkelebat. Ia memanggil nama itu dengan kesadaran mengawang. Lelaki tempat ia merasa dekat sekaligus berjarak. Nama yang bersikeras menolak perpisahan apalagi ucapan selamat tinggal karena masih membutuhkannya: sebagai sahabat dan guru, bukan perempuan! Ia menelan impian. Asin. Seperti darah campur ingus yang masih saja melewati garis bibir.
Ia melihat tangannya; merah. Mengapa merah selalu mewarnai hidupnya. Lambang keberanian atau kesombongan? Seberani apakah ia yang disebut strong woman oleh seorang kawan perempuannya sebab dianggap tegar? Atau sesombong apa ia yang disebut “Nona Gramatika binti Cerewet” oleh pencinta kebebasan linguis? Tiba-tiba ia ingin tertawa. Menertawakan sekian kebodohan akan hasrat dan ambisi. Menertawakan polah orang-orang di sekitarnya. Menertawakan kehidupan. Menertawakan dirinya sendiri yang “berpesta” bersama hujan, darah, dan malam.
Tut... tut... tuuut....
Naik kereta api kelas ekonomi
bareng Wida Waridah, “adik” perempuan tersayang.
Siapa hendak turut
ke Yogya nanti?


Yogya. Pertemuan bulanan Forum Bahasa Media Massa 9 Juli. Ia tertawa lirih dan getir. Ia tak akan bisa ke sana. Ada kereta lain yang akan menjemput menuju tujuan lain. Lagi pula, ia tak ingin ke Yogya. Untuk apa? Bertemu lelaki yang cuma dikenalnya lewat jalur maya selama tiga tahun, namun telah menemani hari-harinya sekaligus meninggalkan noda di hati: bahwa ia ingin memiliki.
Barangkali di Stasiun Tugu ada loket dengan tiket menuju Negeri Senja yang didongengkan Seno Gumira Ajidarma. Akan ia naiki kereta itu jika memang ada; sebagai bagian dari kembara. Namun ia di sini dan tak bisa ke mana-mana. Menunggu kereta khusus yang akan mengantarkannya menuju Negeri Barzah. Dan ia menunggu dengan gelisah.
Tubuhnya gemetar. Gigil oleh dingin dan gentar. Dalam sekarat, adakah harap? Angin, hujan, kepala bocor, wajah dan tubuh memar, juga perut yang berlubang. Harapan kehidupan apa yang bisa ia genggam?
Merah. Adakah semerah itu harapan. Semangat yang berkobar. Ia ingat lelaki itu. Lelaki yang memberi kaligrafi dengan khat Allah besar warna merah, selain warna biru kesukaan lelaki itu. Sialan! Kemarin lelaki itu balas menitipkan rok batik warna merah untuknya, kala Wida mampir di Yogya untuk menyerahkan buku titipannya.
Ia tak suka rok, dan tak berpikir akan oleh-oleh, sebab buku itu merupakan janjinya agar lelaki itu tak terlalu kecewa karena sajaknya telah gagal masuk antologi Dian Sastro for President, End of Trilogy. Namun toh ia terima juga dengan malu-malu campur lucu. Baru kali ini ia diberi rok oleh seorang lelaki. Widzar yang menyarankan, dan lelaki itu memilihkan dengan pemikiran ia suka merah. Ironisnya, ia tak akan pernah memakainya. Rok itu teronggok di sudut diam, menjadi monumen persahabatan.
Apakah kelak ia akan tetap teronggok di sela belukar, tak ditemukan sesiapa, menjadi santapan anjing liar. Lalu hilang sebagai cabikan dari mayat tak dikenal. Meninggalkan kepanikan bagi keluarga dan kawan-kawan, lantas nama dan fotonya terpampang di koran-koran. Ia menggigil.
Allah!” raungnya lemah.
Di mana Tuhannya? Salat malam telah ia lupakan doanya. Al Quran sudah lama tak dijamah. Ibadah-ibadahnya hambar. Ia sungguh butuh seorang qowwam agar tak menyimpang. Ia muak dan lelah dalam kesendirian. Mencemaskan rahim yang tak segar. Mencemaskan anak-anak yang tak pernah akan ia lahirkan. Mencemaskan usia yang mengejar. Mencemaskan kenyataan bahwa ia tak utuh sebagai perempuan.
Selemah itukah ia?
Merah. Ia kian lemah. tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Tidak tahu apa akan menemani lelaki itu untuk menjadi sahabat sekaligus guru dan murid dengan sekian perdebatan kala chat di YM! ataupun surat dan surel panjang. Tidak tahu apakah sepeninggalnya nanti, lelaki itu akan dapat perempuan pengganti sepertinya.
Dulu, sebagai “barter” buku, lelaki itu pernah memberi buku bersampul merah; Aku Bertanya, Maka Aku Ada, seolah ingin berapologi soal kesukaannya untuk selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan yang membuat mereka kerap berdebat panjang-pendek sampai bosan atau kecapaian. Dan ia mencoba paham.
Apakah ia masih yakin akan paham?
Ia demam. Curahan kubik air dari langit yang terkuak seperti jarum merajam pori-pori kulitnya. Ada cekat di kerongkongan. Ia kian tersiksa dan ingin mati rasa. Apakah Tuhan sangat murka? Ia terisak dengan dahsyat. Merasa sia-sia dan terbuang. Sekaligus layak dihukum sebagai pesakitan.
Ia mencintai hujan. Namun ia tak pernah mengira bahwa hujan akan membalas cintanya dengan cara begitu “mesra”. Apakah hujan hendak membasuh dosa-dosanya, memandikan jiwa dan raganya menuju penyucian khudi?
Langit gelap dan pekat. Mengirim serpih-serpih tajam. Kali ini tak ada angin. Daun-daun hening. Barangkali hanyut dalam zikir, menyaksikan seonggok raga terbaring tanpa daya. Ia mencoba agar jiwa dan lisannya berzikir, sebagaimana petir. Ia ingin mati khusnul khatimah meski sangsi sebab ingat akan sekian dosa yang berjela-jela. Akankah hujan menyucikan?
Ia mencintai hujan. Ia mencintai merah. Namun merah itu kian deras mengalir dari perut dan kepalanya. Akankah hujan menguras merah dari tubuhnya? Ia meraung. Ia berzikir. Ia menangis tersedu-sedu. Ia meraung. Ia berzikir. Kembali tersedu-sedu....
***
MALAM pucat. Sepucat itulah wajahnya ketika empat orang lelaki naik dan duduk di samping kanan, dua lagi di depannya. Aroma sengak tambah meruap. Ada firasat tak mengenakkan. Angkot melaju. Empat lelaki itu saling berpandangan. Tatapan mereka kurang ajar, seolah melihat mangsa terjebak. Spontan ia berteriak, “Kiri!”
Namun angkot terus melaju, malah kian kencang. Menuju arah sepi. Ia tegang. Mengulang ucapan, “Kiri!” Kali ini lebih keras dan tegas. Empat lelaki itu cengengesan.
“Kiri! Stop, Bang! Kiri! Hei, hei, kiri...!”
“Mau turun di mana, Neng?” Salah seorang lelaki berambut gondrong ikal yang duduk di sampingnya bertanya dengan nada kurang ajar.
“Di surga,” celutuk seorang kawannya yang berambut cepak dan duduk tepat di depannya.
“Maaf, Mas, saya mau turun di sini. Tolong, kiri!” Ia mencoba tenang namun tegas, meski cemas.
Ah, nanti saja turunnya, Neng.” Sahut seorang lelaki dengan hidung ditindik yang duduk di baris kiri dekat pintu, ia lebih kurus dan muda daripada yang lainnya. 
“Iya, jalan-jalan dulu, hehe...” kawannya yang duduk di baris kanan dekat sopir ikut menyela. Ada tato macan menyembul di lengan kirinya yang hitam-kekar.
“Hahaha...” sopir dan lelaki di sampingnya ikut tertawa. Suara gaduh bersahutan.
Ia mengendus aroma bahaya. Jilbab yang ia kenakan tak ada artinya lagi, meski penampilannya cukup sopan dan bersahaja. Wajah manisnya memias. Ia punya kecantikan samar tanpa polesan yang kerap mengundang orang untuk memandang; sekaligus membahayakan dalam kesendirian! Mereka seperti dalam pengaruh alkohol, obat bius, atau semacamnya. Ada panik menyeruak. Ia bisa bela diri karate, namun tak yakin akan bisa membela diri dalam situasi seperti ini. Ia berdoa.
Dengan gerakan tak terduga, si tato macan menutup pintu. Bunyinya berdebam. Ia tersentak. Mereka tertawa. Ia siaga. Tiba-tiba si gondrong mengapitnya. Ia memekik.
“Neng....” Sebelum tangan itu menyentuhnya, refleks ia gunakan gerakan kihon untuk mengunci lengan lelaki itu ke belakang, tepat di bagian jempol. Ia yang mungil dan ringkih bisakah adu kekuatan melawan enam orang?
“Jangan main-main!” ia membentak. Si gondrong-ikal memekik. Dalam adu kekuatan tak seimbang, jempol adalah titik rawan untuk dilumpuhkan.
Namun kawan-kawannya cuma tertawa.
“Hentikan angkot dan buka pintu!” Ia memperkeras kuncian pada jempol si gondrong-ikal. Ada pekik bercampur umpatan karena jempol itu nyaris dipatahkan.
“Aku tidak main-main!”
Lelaki di depannya, si cepak, tiba-tiba beraksi hendak menubruknya. Namun kali ini ia gunakan gohon untuk menendang selangkangan lalu kepalanya, dengan telak. Si cepak meraung dan terpental ke belakang, kepalanya membentur jendela kaca. 
Sialan, aksinya membuat si gondrong seolah mendapat celah untuk menggampar dengan tangan sebelah yang bebas. Namun ia coba bertahan dan balas melawan meski kerepotan. Ditonjoknya leher si gondrong, tepat di bagian jakun, lalu menjambak rambutnya untuk dibenturkan ke jendela, lantas mendorongnya ke arah si tato macan yang hendak membantu hingga mereka terguling dari bangku. Mengagetkan lelaki-lelaki itu, termasuk yang duduk di depan.
“Hentikan angkot!” bentaknya pada sopir yang melongo bareng rekan di sampingnya. Mereka saling berpandangan.
“Hentikan!” Sekali lagi ia menegaskan.
Angkot berhenti tiba-tiba, di tempat yang sepi, daerah Lebak Siliwangi.
Ia membentak si hidung-tindik, yang wajahnya seketika pucat sebab kejadian itu begitu cepat, untuk membuka pintu. Tegang mengambang. Masing-masing menaksir kekuatan lawan.
Di bagian depan, lelaki yang duduk di samping sopir tiba-tiba keluar. Ditendangnya pintu belakang tempat ketegangan berderak, dengan kasar. Ada kilat parang mengancam di tangan berwajah gelap dan sangar. Ia beristigfar.
“Diam, cerewet!”
***

DAN beginilah ia. Setelah pertempuran tak seimbang di dalam angkot. Setelah bangku kecil menghantam kepalanya tanpa sempat ia elak. Setelah parang itu menebas perutnya karena terus berontak. Meninggalkan luka memanjang setelah ia melawan habis-habisan demi mempertahankan kehormatan; tak memedulikan kepala dan perutnya yang luka. Sampai pada akhirnya ia roboh tak berdaya.
Seperti apa tadi? Slide adegan mengerikan itu terekam samar. Gemuruh serapah dan ludah dan pukulan dan tendangan; menghajarnya berulang. Salah seorang mengumpati si pemegang parang bahwa mestinya jangan dulu main tebas sebab pada akhirnya jadi kacau balau.
“Sayang perempuan cantik ini....”
“Percuma! Terus melawan, bikin ribut!” Mereka berdebat. Menceracau dalam mabuk. Saling menyalahkan. Terutama si sopir karena darah menggenang di lantai dan  bangku dan jendela. Termasuk percikannya mengenai sebagian dari mereka.
Seperti apa tadi? Ia dilempar begitu saja ke luar seperti bangkai binatang; setelah entah berapa lama angkot berputar-putar dengan ia dalam separuh kesadaran. Terdampar di belukar tepi jalan. Lalu hujan deras tiba-tiba menyambutnya seolah meratapi sepenuh kesedihan.
Seperti apa tadi? Ia tak ingat lagi.
Bibirnya beku. Sepasang kelopak matanya diusahakan untuk tetap terbuka meski pandangannya mengabur. Ia ingin menyambut malaikat kematian dengan senyuman. Namun bibirnya beku. Hujan tetap saja menderu.***

Bandung, 13 Juni 2005
(Kado milad Muhammad Zainal Fanani ke 29, 18 Juni 2005)



2 komentar:

  1. Wooohhhhhh... terus perempuannya mati apa gimana? Kok ngegantung banget?

    Dari pertama pengen cari tau, apakah yg menemukan si perempuan ini adalah si Keanan? Kalo sad ending, jadi gimana gitu. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, sengaja dibikin menggantung agar yang baca penasaran lalu melanjutkan kisah dalam alur imajinasi masing-masing.
      Akhir yang menggantung itu kadang dibutuhkan dalam suatu cerita untuk memberi efek dramatis juga, he he.
      Dika mau mencoba cara pengisahan demikian? :)

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D