Sabtu, 30 Desember 2017

Menentukan Alur Hidup dengan Warna Kulit




SEJARAH naksir dari zaman ABG sampai sebelum menikah, saya ternyata cenderung menyukai lelaki berkulit gelap daripada terang. 4 pendahulu dari 5 lelakinya rata-rata berkulit sawo matang yang cenderung agak sampai gelap. Tidak terlalu hitam namun menandakan sering terpapar sinar matahari karena aktivitas di luaran. Dan disadari atau tidak, bagi saya itu memberi kesan menarik karena terlihat jantan.
Harap maklum, karena kala itu sebagai anak sekolahan, saya pun penyuka aktivitas di luaran. Merelakan kulit wajah sampai rambut terbakar sinar matahari kala berjam-jam latihan karate yang biasanya di luar ruangan. Dan kala ujian kenaikan sabuk, malah terkagum-kagum pada cowok kurus berkulit gelap pengawas ujian, bersabuk cokelat yang bisa jadi sudah mahasiswa, daripada sensei (guru karate) sendiri yang tegap, ganteng, sekaligus putih kulitnya.
Saya kala itu tidak terpikir untuk naksir guru latihan karate sendiri karena tanpa disadari menganut prinsip pantang jatuh cinta pada guru mana pun. Tapi boleh kan flirting sama yang bukan guru saya? Lucu juga mengingatnya karena ia tahu saya terus memerhatikannya, nyaris lupa pada cowok lain yang sudah lama saya taksir sejak hari pertama bertemu di sekolah, teman lain kelas yang juga sedang ikut ujian. Sama berkulit gelap, namun untuk sementara waktu terkalahkan pamornya oleh yang ber-tone lebih menarik.
Saya tidak tahu apakah kala zaman sekolah saya termasuk perempuan yang menarik di mata kaum lelaki, karena kulit saya tidak putih mulus. Dari warna asal kuning langsat jadi cokelat macam sawo matang karena aktivitas luaran. Namun kala itu saya merasa nyaman dengan diri sendiri. Bahagia menikmati kegiatan yang saya suka dan tidak memikirkan definisi cantik maupun warna kulit.
Teman saya ternyata rata-rata penyuka lelaki berkulit gelap daripada terang, pun dengan alasan lebih jantan.
Reni, sahabat saya di Bandung, yang pacaran dengan teman sekaligus tetangga masa kecil saya, dengan jujur bilang lebih suka lelaki berkulit gelap, malah mantan pacarnya hitam manis. Berbeda dengan adik perempuannya, Reni kulitnya cenderung sawo matang dan ia tidak berpikir untuk pakai krim pemutih wajah.
Saya bengong mendengar pengakuannya, ia yang pacaran dengan Tito yang kulitnya putih karena faktor turunan, ternyata punya definisi berbeda tentang tone lelaki. Dan lucunya Tito menyukai tone kulit Reni yang agak gelap dengan alasan manis banget. Sedang saya sendiri  kala itu sedang jatuh cinta pada seorang lelaki yang kebetulan kali ini kulitnya lebih putih karena faktor turunan dan pekerjaan in door.
Apakah jadi putih seperti yang digembar-gemborkan iklan itu penting? Sehingga orang mengekor definisi cantik  produk pemutih yang cuma mewah di iklan saja? Sebab selera personal seakan diabaikan. Tidak semua orang melihat kulit luar. Apa pun tone-nya yang penting sehat dan terawat.
Memang menjadi putih terlihat lebih menarik, Jadi kinclong gitu. Namun jika alam telah memberi kita tone yang tak ideal, haruskah mati-matian mengubah diri? Bahkan dengan produk yang bisa jadi tak aman.
Seorang teman dengan bangga menunjukkan krim pemutih wajah yang katanya buatan Tiongkok, salep mahal yang membuat kulitnya lebih bersinar.
Saya diam, apakah ia tidak terpikir bisa mengikis kulit luarnya atau kulit yang sudah mati dengan jeruk nipis atau lemon misalnya, yang kadang-kadang saya pakai bukan untuk sekadar memutihkan saja melainkan untuk mengatasi kulit berminyak. Lebih murah dan aman. Tidak perlu kuatir iritasi atau harus alami proses sengsara karena kulit mengelupas tanda produk sedang bekerja seperti yang dialami teman saya itu. Tidak lucu jika bibir sampai harus bengkak atau mata jadi sembab gara-gara efek pengelupasan.
Kerabat saya justru kapok gunain salep demikian, wajahnya sampai terbakar dan kulitnya jadi gelap. Ia yang ingin lebih cantik dan putih beroleh hal lain, kecantikan alaminya menghilang plus jadi lebih sawo matang yang terlalu “matang”.
Kalau sudah demikian, kecantikan dengan asas putih adalah semacam “budaya baru” yang sulit kita abaikan. Selalu saja ada penganut asas demikian di belahan dunia ini. Kita boleh saja heran, namun barangkali penganut asas tersebut bisa jadi malah akan terheran-heran kalau dipertanyakan.
Jadi, berbahagialah yang tak merisaukan warna kulit, entah dengan alasan apa pun. Karena yang terpenting kita bisa hidup bebas dari rasa terintimidasi apalagi diskriminasi.***
Rohyati Sofjan, blogger yang kini berumah di lokasi susah sinyal sehingga sulit internetan dan statusnya sebagai blogger terancam kandas ditelan jaringan

Kolaborasi 20 Penyair JPIN Melepas Puisi




DATA BUKU
JUDUL          : Kunang-kunang dalam Gelas, Antologi Puisi Pilihan JPIN 2013
PENULIS      : Tri Harun Syafii, dkk
PENERBIT   : Pustaka Nusantara
CETAKAN    : Pertama, Oktober 2013
TEBAL          : 156 Halaman
ISBN              : 978-602-7645-14-1
HARGA          : Rp35.000

MENERBITKAN buku kumpulan puisi adalah pekerjaan berisiko, apalagi dari penyair yang tak begitu dikenal khalayak luas. Namun syukurnya masih ada penerbit yang rela menempuh risiko demikian demi idealisme. Meskipun hanya penerbit indie.
Pustaka Nusantara (Oase Qalbu) merupakan penerbit indie yang menaungi komunitas penulis nasional Jaringan Pena Ilmu Nafia (JPIN). Kunang-kunang dalam Gelas adalah antologi puisi pilihan edisi perdana tahun 2013, diisi oleh 20 penyair dengan latar belakang berbeda dari berbagai daerah se-Nusantara yang bernaung dalam komunitas JPIN.
Dari total 113 puisi karya Asidia Akasa, Azizah Nur Fitriana, Bondan al Bakasiy, Buk Nung, Corny Azis, Dwiyanto Susilo, Irma Safitri, Kuntum Khoiru Ummah, Kurniawan Al Isyhad, Lathifah Edib, Meidi Candra, Mulyoto M., Nadia Aslima, Nasta’in Ahmad, Nenny Makmun, Novy Noorhayati Syahfida, Titi Haryati Abbas, Tri Harun Syafii, Wahyu Prihartini, dan Wyaz Ibn Sinentang; ada yang berpijar terang sinarnya.
Asidia Akasa barangkali tak begitu terkenal, namun perempuan kelahiran 6 Mei 1995 dan lulusan SMA 1 Pegandon, Kendal, tahun 2012 itu layak diperhitungkan. Meski menekuni dunia menulis sejak pertengahan tahun 2012, imajinya dalam memainkan metafora puisi tidak mentah.
Mengentak dalam “Otoredoks”: Kau orang yang membuatku berarti sekaligus tak berarti/ Yang membangun kuil cinta dan meruntuhkan dengan tanganmu// Yang memberiku mimpi untuk diterbangkan dengan balon udara/ Tapi, mengkaitkan jangkar di kakiku// Yang menghembuskan semangat/ Bersamaan menjejali jiwa dengan keputusasaan// Jika cinta yang membuat segalanya indah/ Dan menaikkan bentang tekad berjuang/ Adalah reduktor// Dan lawan cinta memberikan gemuruh tak berasas/ Agar aku mundur menjadi oksidator// Kau adalah keduanya/ Yang begitu otoredoks/ Membuatku berharap tanpa bertahan sakti di harapanku//
Kerumitan pemikiran Asidia menggambarkan betapa puisi sering takluk dalam himpunan rasa tak terdefinisikan. Meskipun demikian, ia masih harus belajar mengolah susunan kalimatnya agar selaras dengan kekinian gramatika. Seperti meluluhkan ‘mengkaitkan’ jadi ‘mengaitkan’, dan ‘menghembuskan’ jadi ‘mengembuskan’.  
Novy Noorhayati Syahfida, termasuk penyair yang produktif. Karyanya bertebaran dalam banyak antologi puisi bersama sampai tunggal. Ada 10 puisi Novy dalam antologi ini. Sebagian masih bercerita tentang senja dan samudra. Ditambah langit dan angin. Seakan empat hal itu merupakan sumber inspirasi terbesarnya untuk mendedahkan perasaan.
“Kudekap Angin” begitu melodius sekaligus meruah. kudekap angin yang menderu-deru di samping tidurmu/ ketika bintang mengukir namanya pada jam waktu// hujan terbatuk-batuk di luar jendela/ menawarkan gelisah mimpi pada senja/ dan kau pun terbangun dari tidurmu// kudekap angin yang menderu/ yang suaranya tiba-tiba menyeru kepadaku/ bahwa kau tak lagi di sisiku//
Seperti biasa, Novy masih lihai mengolah kata untuk menggambarkan perasaannya bagaimana. Pada dasarnya perasaan yang terdedah memiliki ukuran kedalaman yang sulit diuraikan oleh rangkaian kata. Hanya penyair yang pantang menyerahlah mampu menaklukkan kata agar gemanya mengada kala dipuisikan.
Seperti dalam tulisan saya yang pernah dimuat koran Jawa Pos, (baca “Puisi yang Dimabuk Senja”, ==Februari 2014, Novy lemah dalam gramatika. Menulis ‘dimana’ sebagai imbuhan padahal mestinya kata depan yang dipisahkan jadi ‘di mana’. Dalam puisi “Dimana Kau Berpijak”. Semoga ke depannya Novy berubah lebih baik dalam gramatika. Memahami EBI (ejaan Bahasa Indonesia) terkini.
  Dalam puisi pun, tanpa kita sadari malah bisa membuat semacam quote, tanda kutip, atau ungkapan kalimat pilihan yang mengena dalam kehidupan. Hal itu dilakukan Lathifah Edib. Entah apakah ia merasakan semacam delirium (ketidaksadaran) kala menulis, “Suatu hari puisimu pun akan sembunyi. Lalu hidup kembali./ Binarnya melebihi pelangi. Tahukah kau, apa yang membuatnya/ begitu berarti meski jasad kita mati?”//
Pada umumnya penyair memilih daya ungkap yang dirasa tepat untuk mewakili perasaannya. Pengaruh bacaan yang beragam, terutama puisi karya siapa saja, akan membawa sapuan warna jiwa pada karyanya. Untuk bermain rima atau metafora.
Meidi Chandra membiarkan puisinya kaya pengaruh untuk bermain rima. Entah bentuk syair lama yang akhir suku katanya serupa. …Membunuhku dalam gigil/ Menyuling lengang jalan-jalan kecil/ Membaca pesan rintik mungil/ Menikmati gemericik di atas hangatnya katil// (“Delia Kasih-Mu Tak Akan Pernah Purba”).
Rima (pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan), banyak dipilih penyair untuk memperkuat estetika puisi mereka, agar isi yang disampaikan beroleh bingkai bahasa puitis melodius.
Ada rima yang mengalun lembut dan lamban atau meruah cepat seperti yang dipilih Widia Aslima dalam “Bersimpuhlah di Telaga Kasih”. (1) Dekapanmu begitu hangat. Biaskan cahaya yang menggugah/ semangat di kala jiwaraga ini sudah goyah diamuk resah. Saat tiada yang bisa mengerti, hanya engkau yang setia di sisi…..
Widia bermain dengan repetisi yang berganti. Seperti akhiran -at, -ah, -i, dan sebagainya. Bentuk puisi terkini. Sebuah bentuk hasil adaptasi dari beberapa pengaruh puisi beragam angkatan.
Titi Haryati Abbas pandai memilih judul panjang yang puitis, “Akulah Debu yang Ingin Memeluk Matahari”. Kalimat puisinya yang panjang-pendek seakan mengikuti suasana hatinya yang meruah, atau stimung (suasana hati yang menggejela) tanpa jeda.
Sementara gerimis tergesa menuntaskan tetesan terakhirnya/ Mimpiku meruah di ruas-ruas pekatnya/ Tentang sebongkah harap yang kusimpan diam-diam/ Melintasi cakrawala, membingkai pelangi//
Beberapa penyair tampaknya butuh sentuhan editor bahasa agar karya mereka apik dibaca. Bukan sekadar karya cukup jadi yang seadanya tanpa suntingan jeli. Masih ada penyair yang typo atau tak paham kaidah kebahasaan. Kurang penguasaan dasar ejaan bahasa Indonesia. Semoga JPIN dan Penerbit Pustaka Nusantara bisa membimbing mereka.
Kunang-kunang dalam Gelas adalah antologi puisi yang mendedahkan sekian “warna jiwa” beragam penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Antologi se-Nusantara. Penuh sesak dengan beragam gaya ungkap, bahkan bahasa daerah. Mereka bicara mengenai cinta, luka, bahagia, kritik sosial secara liris metaforis maupun verbal. Dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hidup sendiri, ketika pengalaman butuh ruang kontemplasi agar tak pudar digerus arus waktu hingga lupa.
Mereka yang mengisi puisi ini mungkin kebanyakan bukan penyair terkenal. Ada yang pemula, bahkan puisinya terasa mentah karena penyairnya belum lihai mengolah kata. Namun buku ini merupakan dokumentasi abadi bagi perjalanan berkarya mereka. Siapa tahu buku ini merupakan awal, agar para penyair yang terlibat dalam kolaborasi mengantar puisi menjadi pemuisi yang lihai menangkap momen puitik, agar mengada sebagai puisi sendiri. Puisi yang beresonansi!***
Cipeujeuh, 29 Desember 2017




KTKLN untuk Apa?


Oleh Rohyati Sofjan


SEPUPU saya yang sedang cuti liburan sebagai TKI, dengan panik bertanya mengenai maksud Presiden Jokowi tentang menghapus KTKLN. Berita itu barusan didapatnya dari TV. “Bukankah KTKLN untuk melindungi TKI selama kerja di luar negeri? Jika dihapus, apa yang akan terjadi?!”
Awal Desember 2014 itu merupakan bulan keduanya masa cuti, dan awal Januari 2015 akan kembali kerja di Saudi. Wajar dia panik karena berita tersebut masih tidak pasti sedang masa berlaku KTKLN dan kartu asuransi TKI-nya habis. Dia bingung apakah harus diperpanjang atau tidak. Jika sengaja tidak memperpanjang sesuai keputusan Presiden, apakah petugas bandara tak akan menyulitkannya mengingat itu peraturan baru?
Saya membantu dengan mencari di internet dan bertanya sana-sini, termasuk pada teman Facebook yang kerja jadi TKI di Taiwan. Ternyata KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri) menjadi kontroversi sampai di Facebook ada halaman Like untuk Hapus KTKLN.
Mengapa harus dihapus? Rupanya KTKLN cenderung menjadi ajang penyulitan dan pemerasan bagi TKI/BMI (Buruh Migran Indonesia). Sangat memprihatinkan sebab masyarakat kebanyakan pada umumnya tidak tahu menahu mengenai kecenderungan tersebut, hanya TKI/BMI yang merasakannya.
Kutipan berita dari Kompas Com barangkali bisa memperjelas ilustrasi demikian. "Kami ingin sampaikan poin KTKLN. Kami sangat berharap pemerintah tindak oknum bandara. Kami tidak mau ada diskriminasi di bandara sehingga ada TKI gagal terbang, pungli di bandara, dan apabila pemerintah tidak bisa menindak oknum ini, kami harap hapuskan KTKLN," kata Yati, perwakilan TKI Singapura.
Dari cerita sepupu, ternyata ia juga alami diskriminasi akibat KTKLN. Kala berangkat pertama kali sebagai TKI, 5 tahun lalu, ia tidak perlu KTKLN karena belum ada aturan tersebut. Namun pada kepulangan pertama cutinya, ia harus berhadapan dengan aturan baru, membuat KTKLN jika masih ingin berangkat kerja ke rumah majikannya di Saudi lagi. Dan melayanglah 300 ribu sebagai ongkos prosedur pembuatan KTKLN -- yang anehnya di situs berita Kompas Com ternyata ada yang bilang KTKLN gratis alias tak dibebani biaya pembuatan.
Ada yang membingungkan, untuk apa KTKLN dan kartu asuransi dihekter di sampul muka paspor? Apakah itu untuk memudahkan TKI sendiri dalam pemeriksaan atau memudahkan diskriminasi dan asas pemanfaatan, terutama bagi oknum petugas bandara? Dengan kata lain, setiap TKI yang berpaspor “beda” tersebut, tinggal digiring lewat jalur khusus, dibedakan dengan penumpang sepesawat yang lewat jalur biasa karena paspornya tidak “berhias beda”?
Bagi sepupu, Bandara Soekarno-Hatta bukanlah wilayah aman. Ada banyak penipu, pemeras, pencopet, dan kriminal lainnya. Ironisnya, di matanya pun petugas bandara tak lebih dari tukang minta-minta alias bermental pengemis dalam balutan otoritas kekuasaan seragam.
Salah siapa itu sebenarnya? Penyakit akut yang menjalari elemen dalam suatu sistem kebandaraan? Pembiaran dari tingkat kekuasaan tertinggi otoritas bandara sendiri sehingga bawahannya sampai para kriminal lain ikut ambil bagian: memeras TKI/BMI yang baru pulang atau hendak berangkat?
Valiant Budi Vabyo, penulis buku Kedai 1002 Mimpi, dalam bukunya itu menulis peristiwa tercela oknum Bandara Soekarno-Hatta. Di bandara Bahrain, berkenalan dengan TKI asal Gresik yang kelimpungan menyembunyikan uang hasil kerjanya dalam koper karena takut dirampas oknum Bandara Soekarno-Hatta.
Beroleh cerita bahwa TKI harus lewat pemeriksaan jalur khusus. Ketika turun dari pesawat, mereka terpisah. Dan Valiant yang tidak merasa salah lewat jalur biasa sebagaimana penumpang lainnya, sempat dihadang petugas plin-plan perkara ia TKI. Dengan berani Valiant melawan, apakah karus lewat jalur khusus juga? Petugas keder, Valiant selamat dari pemerasan.
Ternyata menjadi pekerja luar negeri kerap dilecehkan bangsa sendiri? Padahal orang seperti sepupu harus bekerja keras untuk beroleh nafkah. 20 jam kerja plus makan dan shalat. Hanya menyisakan 4 jam masa tidur agar bisa beristirahat. Kebiasaan orang Saudi membuat siklusnya berbeda. Ia kerja dari jam 5 subuh sampai jam 12 malam, makan malam keluarga majikannya jam 11 malam.
 Sedang oknum bandara?               
Kabar baiknya, sepupu barusan berangkat lagi ke Saudi tanpa harus berurusan dengan KTKLN lagi.***
Cipeujeuh, 7 Januari 2015

Jalan Pedang Kita



:  Ujianto Sadewa
Tahukah kau,
sudah lama kutinggalkan puisi.
Padahal ia karib paling sunyi.
Di dunia ingar tapi sepi
dalam kesunyian hakiki,
yang menyesakkan dan menyesatkan diri.

Aku tersaruk mencari wujud puisi.
Tapi ia raib dikepung rimba denotasi.
Aku mengejar konotasi demi menjelmakan
metafora muram.
Tapi hidup telah lama mengkhianatiku
pada puisi, hingga ia tak tergapai lagi.

Mungkin aku telah berkhianat
pada pilihan naïf yang dulu kukira
jalan pedangku selaku samurai
kata-kata.

Dan tahukah kau,
aku belum sanggup menjelma ronin
atau shugyosa seperti dirimu.
Mungkin aku tak ingin.

Aku samurai murtad
yang kehilangan pedangnya,
digadai nasib sial dan amuk kutuk.
Cipeujeuh, 3 Desember 2012