Kamis, 18 Januari 2018

Tiga Siklus Kehidupan




Setiap orang membawa garis nasib untuk melalui beragam siklus kehidupan dengan masing-masing penafsiran. Dan Dian Hartati menafsirkan takdir demikian sebagai bagian dari upacara kehidupan yang harus ia lakoni, lalu memuisikannya dalam antologi puisi Upacara Bakar Rambut.

Oleh Rohyati Sofjan


ADA tiga siklus kehidupan yang ia lakoni dalam usia jelang 30 tahun: kelahiran, pernikahan, dan kepergian. Maka 30 puisi berupaya merangkum semua yang telah ia alami agar rasa itu bisa mengabadi sebagai pondasi bagi langkah berikutnya.
Bukan sekadar mengumpulkan remah kenangan semata, puisi adalah cerminan refleksi diri dalam menyikapi kehidupan. Pun kelahiran atau kematian. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan cabikan luka.
Dian menulis dalam kata pengantarnya, “Puisi bagi saya merupakan media kebahagiaan diri, apa pun tema yang saya tulis, apa pun apresiasi yang hadir dari pembaca. Tiga puluh puisi dalam Upacara Bakar Rambut merupakan simbol waktu bagi saya yang memasuki usia berkepala tiga. Tiga tahap kehidupan yang pernah saya lalui: kelahiran, pernikahan, dan kepergian. Tiga waktu yang membawa saya ke ruang-ruang tunggu berikutnya.”
Tiga bagian dalam simbol waktu Dian terdiri dari: Rumah Tuna, Laki-laki Bermata Merah, dan Kelahiran Ketiga. Masing-masing 10 puisi. Meski Dian memuisikannnya dengan bahasa yang biasa tanpa bermain dengan rima atau metafora rumit, namun bukan berarti tiada makna.
Justru Dian kukuh pada kesederhanaannya dalam membahasakan puisi. Lebih terpaku pada saripati kehidupan daripada bermain majas atau gaya bahasa. Setiap penyair memang membawa cetakan diri dari alam bawah sadarnya.
Dian mengangkat keseharian dalam puisi, tentang apa yang ia rasa dan pikirkan, tentang diri sendiri, almarhum suaminya, orang lain, alam sekitar, balutan sejarah, aneka upacara, sampai aroma mistik yang kental.
Dalam “Tembang Sri Tanjung”, Dian mengangkat legenda dari cerita rakyat tentang asal mula Banyuwangi. Sesuatu yang panjang bisa diurai secara singkat dalam puisi.
Sri Tanjung sebagai perempuan berupaya keras mempertahankan kesucian dan kesetiaan diri kala ditinggal suaminya bertugas, selalu berbekal pisau untuk berjaga dari gangguan raja yang merupakan atasan suaminya. Segala bujuk rayu raja tidak mempan, sampai difitnahlah ia sehingga suaminya malah mengabaikan.
Aku merintih rindu/ bertanya/ wahai semesta, kapan suamiku dipulangkan/ kandungan semakin besar/ air mata terbatas jumlahnya/ semesta, lindungi suamiku dari segala keliaran/ di tanah ini/ hutan-hutan begitu menakutkan/ laut menggelorakan auman/ dan langit/ tempat yang tak mungkin kudatangi// kau dengar, sidopekso/ aku bersenandung/ melagukan waktu dengan penuh keriangan/ doa adalah nyanyianku/ pijakan paling rawan//
Kerinduan Putri Sri Tanjung begitu membuncah namun prasangka buruk dari suaminya akibat hasutan raja yang dengki telah membuatnya lantak dan terusir. sidopekso, aku mengandung anakmu/ berdoa untuk segala kebaikan/ lihatlah/ kau akan menyesal// bunga-bunga akan bertumbuhan di sepanjang sungai/ mengalir hingga ke laut/ aromanya akan membuatmu/ gila!//
Begitulah Dian, dari beberapa buku kumpulan puisi lainnya, sejarah atau babad selalu dipuisikan secara memikat. Seakan ia bicara bahwa tiga siklus kehidupan yang dipuisikan bukan hanya mengenai dirinya semata.
Meski telah terpisah jarak dan jasad dengan suami tercinta, Dian lebur dalam kesadaran tentang kehilangan, setiap waktu kau mengikuti/ menjagaku melalui bahasa cinta yang lain/ melebihi dahulu// (“Wangi Bunga yang Mengikuti”)
Atau bagaimana ia memandang bumbu masakan merupakan saripati bumbu kehidupan sendiri, tempat kita belajar perumpamaan. Sesuatu yang biasa ada dalam keseharian ternyata merupakan simbol untuk kita baca dan cermati. Dari bawang putih, bawang merah, ketumbar, kemiri, merica, kunyit, jahe, lengkuas, daun jeruk, serai, dan garam. (“Rasa Bumbu Kuning”)
Jika hidup serupa rangkaian upacara, maka Dian berusaha merangkai semua dalam Upacara Bakar Rambut.  Dalam puisi berjudul demikian, kita akan tahu ada tradisi upacara bakar rambut untuk memulai kehidupan baru.
Bandung adalah tempat kelahirannya, dan Banyuwangi adalah kota persinggahan yang sarat upacara bagi sejarah hidupnya. Untuk mengantarkan menuju kekinian, setelah alami prosesi kehilangan karena kepergian.***
Cipeujeuh, 4 Mei 2014

Film dan Buku dalam Perspektif Penonton




Oleh Rohyati Sofjan


KETIKA salah satu stasiun TV swasta akan menayangkan novel yang telah difilmkan, saya menyambutnya dengan antusias. Dalam benak saya, film yang dibintangi Tom Hanks dan meraih Oscar itu pasti sama dahsyatnya dengan novel Forrest Gump tersebut.
Nyatanya saya kecewa berat. Dari awal sampai selesai tak ada kedahsyatan yang sudah saya bayangkan. Bahkan, saya tak bisa tertawa sama sekali. Mungkin bagi orang lain film tersebut menggelitik saraf tawa, namun yang saya rasakan parodinya menghilang, sangat berbeda dengan novelnya. Satirenya lebih satiris, hanya saja membuat miris.
Yang saya rasakan kesepian semata. Akting Tom Hanks yang berperan sebagai Forrest Gump memang bagus dan hidup. Tak ada gambaran orang idiot savant biasa, boleh dikata Gump memang luar biasa. Termasuk sangat polos, lugu dan lucu, sekaligus mengharukan. Apakah memang demikian gambaran orang terbelakang seharusnya? Berbeda dengan idiot mongol atau moron atau imbesil; yang bahasa kasarnya orang cacat mental.
Saya seolah diseret sebagai Gump. Betapa dunianya terasing dari sekitar. Dikejar-kejar orang berengsek untuk diganggu sehingga terpaksa lari, tanpa henti, sekencang-kencangnya melintasi pagar, lapangan rumput, jalan, sampai lapangan football, hingga ke rumahnya tempat yang dianggap aman. Menuruti apa kata Jenny Curran, “Lari, Forrest!”
Apakah itu lucu?
Yang jelas sebagai orang yang merasa senasib dengan Gump, sulit bagi saya untuk tertawa, sama halnya ketika membaca novel Aki (Balai Pustaka, 1950) dan semua cerpen dalam Dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma (Balai Pustaka, 1948) keduanya terbitan lawas. Idrus menggambarkan satirenya dengan satir. Realistis-humoristis, menurut Jassin. Kisah Aki yang bergulat melawan malaikat maut, sampai orang-orang kalah di antologi cerpen Dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma.
Mungkin dalam humor terdapat kepahitan, atau dalam kepahitan terdapat humor tersembunyi maupun terang-terangan. Namun inilah hidup: kehidupan yang sesungguhnya senantiasa menyajikan serbaneka peristiwa paradoksal.
Kontraskah isi cerita film Forrest Gump dengan novel aslinya karya Winston Groom? Dialihbahasakan secara ringan dan segar oleh Hendarto Setiadi.
Membaca buku dan menonton filmnya tentu sangat berbeda. Dalam film saya bisa melihat secara hidup daripada imajinasi, sebab adakalanya kita kesulitan membayangkan sesuatu yang tak pernah diketahui bentuknya. Seperti The Secret Garden (Taman Rahasia) karya Frances Hodgson Burnett yang saya baca waktu SMP, berikut filmnya beberapa bulan kemudian.
Penyuasanaan (setting) bisa membantu imajinasi yang terasa mandek. Maklum sebagai bukan orang Inggris saya tak tahu cara hidup mereka. Meski, terus terang, jalan cerita dalam novel dan filmnya berbeda. Ada 2 atau 3 versi film yang saya tonton, salah satunya dibintangi Gary Oldman dan itu lebih menyerupai pakem novel aslinya.
Atau dalam The Jungle Book, Rudyard Kipling; inikah hutan India yang sebenarnya? Namun Kipling yang masa kecilnya tidak bahagia, membagi kebahagiaan bagi orang lain dengan karyanya. Dan tentunya Kipling yang begitu Inggris mencintai India -- tempat di mana ia lahir dan besar -- hingga membuahkan karya monumental sepanjang zaman dan menarik untuk difilmkan (dalam berbagai versi). Meski dulunya, sepanjang hidupnya Kipling dan keluarga dikecam habis-habisan, dianggap terlalu mengagungkan (kolonialisme) Inggris Raya.
Akan tetapi, tak setiap film sama dengan karya aslinya. Bisa saja yang di film lebih baik daripada novel aslinya, namun tak selalu demikian. Bagi pembaca fanatik yang lebih dulu membaca novel aslinya, bisa jadi akan kecewa berat jika disodorkan realita sangat berbeda daripada yang diketahui sebelumnya.
Saya tidak tahu apakah pembaca novel Forrest Gump yang membaca karyanya lebih dulu kecewa begitu menonton filmnya, atau penonton film tersebut heran begitu membaca karya aslinya. Sebab, terdapat perbedaan-perbedaan yang entah mengapa harus dibedakan.
Yang jelas dalam film yang disutradarai Robert Zemeckis, sama sekali tak ada tokoh Miss French, Profesor Quackenbush, Sue sang orang utan, Mayor Janet Fritch, Big Sam dengan suku Cargo Cult-nya berikut suku pigmi yang jadi musuh bebuyutan mereka, Mister Tribble, sampai Raquel Welch.
Tak ada adegan jadi astronaut NASA, syuting film di Hollywood, gulat, sampai permainan catur segala. Singkatnya, film tersebut tidak seheboh novelnya. Apa boleh buat, Robert Zemeckis dkk. telah menentukan hal lain untuk filmnya. Terasa membumi dan sederhana, memang, namun sama sekali tak parodi. Boleh dikata sepi. Kasarnya sentimental.
Waktu film itu sedang ramai-ramainya dibicarakan, saya masih duduk di bangku kelas 1 SMU dan tinggal di suatu kota kecil yang tidak ada bioskopnya (Limbangan, Garut), untuk menonton ke kota besar (Bandung) pun pasti diveto orang tua. Namun hasrat untuk mengenal siapa Gump tetap terpendam sampai akhirnya 5 hari sebelum acara perpisahan SMU saya bisa membeli novel tersebut.
Untuk itu butuh perjuangan tersendiri. Dari menabung, sampai kesasar gara-gara salah naik kendaraan dan salah turun. Boleh dikata, untuk mendapatkan Gump, saya merasa mirip Gump. Dan itu akan tersimpan rapi dalam ingatan sebab konyol sekali.
Beberapa tahun kemudian, ada Gump lain dalam film yang sangat berbeda dari novelnya, dan saya kecewa berat!
Meskipun demikian, di lain saat, saya bisa menikmati adegan pergulatan seorang nelayan tua dengan seekor ikan besar hasil tangkapannya. Adegan tersebut begitu dramatis dan menegaskan ini soal perjuangan hidup dan mati. Meski saya belum baca karya aslinya (The Old Man and the Sea’s) karya Ernest Hemingway. Film tersebut terasa sangat menarik dan manusiawi, jauh dari kegemerlapan. Boleh dikata sangat sederhana, sesederhana kehidupan nelayan tadisional benua mana.
Alhasil, sebagai pencinta film dan buku (sastra maupun pop), saya mencoba menikmati hidup dan berusaha memandang dari segi yang berbeda. Hidup ini selalu menyajikan kemungkinan-kemungkinan tak terduga.
Akan tetapi, hidup lebih dari sekadar fiksi semata. Yang fiksi bisa hidup, atau hidup memang cuma fiksi?***
~ Dimuat di www.titikoma.com ~ 

Hiperbolisme Babi Ngesot Ala Raditya Dika



 

Humor sering kali memberi kekuatan terselubung, lebih dari sekadar membuat orang tertawa, ada sentakan alam bawah sadar yang kadang kita abaikan. Betapa kita sebenarnya “biasa” melakukan kebodohan dan kebegoan -- dengan atau tanpa sadar -- namun kadang menyangkal: kita tak merasa bodoh atau bego karena ego!

Oleh ROHYATI SOFJAN

   DATA BUKU    : Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang
   PENULIS       : Raditya Dika
   PENERBIT            : Bukuné, Jakarta
   Cetakan         : Kedua, Mei 2008
   Tebal            : viii + 240 Halaman

NAMUN Raditya Dika dalam Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang, berani menelanjangi polah laku-dirinya dengan polos dan blak-blakan, meski kepolosannya diwarnai semangat hiperbolik -- ditambahi semacam “bualan” kekanakan.
Keberanian yang patut kita hargai sebab ia telah menertawakan kehidupan dengan gaya ala Forrest Gump. Bahkan pede saja dicap penulis Indonesia terbodoh saat ini, kala terlalu banyak “kepintaran” justru membosankan.
Pun filosofi pemilihan judulnya yang nyeleneh, Hantu emang gak datang tanpa diundang atau tanpa sebab. Kecuali Jelangkung versi film bokep: datang tak diundang, pulang tak berkutang. Terus Babi Ngesot? Ya, semacam itulah kira-kiranya.
Simak saja bagian pengantarnya: Banyak hal yang gue takutkan: perang, hantu, dan gosok gigi pakai deodoran. Dari semua phobia ini, kuburan adalah yang paling gue takutin. Gue pernah sekali berdua ke kuburan, dan temen gue bilang dengan wajah penuh kengerian, ‘Lo cium itu? Itu bau kejahatan dan kematian.’ Gue bales, ‘Wow, seperti bau celana dalam gue.’
Anehnya ketakutan-ketakutan selalu seru untuk diceritakan. Maka, gue persembahkan sebuah buku tentang ketakutan gue terhadap segala hal yang ngebuat gue jerit sampai ngesot, tentunya dengan gaya komedi. Ini adalah buku Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang. Ini adalah buku yang bisa ngubah hidup kamu semua, terutama kalo abis baca buku ini kamu ngerampok bank, ketangkep, dan dihukum gantung!”
Wah, jika bagian pengantar saja sudah heboh, bagaimana isinya? Dan Raditya Dika sah-sah saja menuangkan 17 cerita pendek pengalaman pribadinya secara aneh-tapi-nyata, dengan gaya bahasa pop dan khas anak muda banget.
Meski isinya tak melulu soal horor bagi kita pembacanya, namun barangkali bagi Raditya sendiri kepolosan polahnya cukup menghororkan kehidupan yang telah ia jalani. Kita boleh menyebutnya sebagai ketegangan, lucunya Raditya memaparkannya dengan cara superkonyol bin kocak. Maka, berhati-hatilah bagi yang punya kebiasaan buruk berupa membaca sambil makan atau sebaliknya, bisa jadi di bagian tertentu kita sontak ngakak sampai tersedak.
Lebih baguslah jika cuma masuk puskesmas bukan bui (sebagaimana Mark Chapman, pembunuh John Lennon, kala ditangkap konon sedang duduk-duduk di trotoar sambil baca The Catcher in the Rye J.D. Salinger -- yang ditahbiskan sebagai kitabnya para pembunuh).
Jika Forrest Gump (Gramedia, Juni 1995) memaparkan keluguannya sebagai orang idiot dalam memandang dan memaknai kehidupan secara ringan namun mendalam, plus seru dan gila-gilaan, tak masuk akal namun tak berlebihan.
Raditya Dika cenderung tipikal khas anak muda urban masa kini yang membebaskan imajinasinya untuk berani sinting, menentang pakem “norma-normal”, meski pada akhirnya kadang ia kesandung juga.
Entah apakah Raditya terinspirasi novel karya Winston Groom itu, sebab ada beberapa bagian yang seakan mengingatkan pada perjalanan Gump, seperti digencet kakak kelas (“Asal Jangan Jadi Perkedel”).
Gue juga belajar hal yang paling krusial dalam bertahan hidup dari siksaan senior, Hukum Kabur I: jika kamu dikejar senior, kamu tidak perlu berlari lebih cepat daripada dia. Kamu hanya perlu berlari lebih cepat daripada temen kamu. Kebenaran hukum ini dipraktikkan sewaktu gue dan kedua temen gue: Reno dan Hugo, berjalan cepat melintasi lapangan basket yang ditongkrongi anak kelas tiga. Begitu kita menyeberang, ada satu anak kelas tiga langsung nafsu ingin menarik kita untuk ikutan nongkrong. Gue, yang paling belakang, langsung menyalip Hugo dan Reno. Hasilnya urutan kabur jadi terbalik: gue, Hugo, baru Reno yang paling belakang. Reno pun langsung ditarik sama kelas tiga. Gue sama Hugo berhasil kabur naik bajaj.
‘Reno gimana? Reno gimana?’ Hugo berteriak di dalam bajaj. Kita berdua berasa lagi kabur sewaktu perang Kemerdekaan ketika salah satu teman kita ada yang baru aja diculik sama orang Belanda. (Hlm. 16)
Lalu masa kuliah (“Gosip”). Sebagai anak FISIP UI yang moody, kala bosan Raditya minta izin pada dosennya, Eep Saefulloh Fatah, untuk cabut dulu dan membisikkan alasan bahwa tantenya melahirkan. Eh, Mas Eep malah mengira bahwa istrinya yang melahirkan. Sehabis memberi izin, pakai acara mengajak doa bersama, satu kelas segala! Akibatnya, keesokan hari urusan malah runyam bagi Raditya.
YA AMPUN! Mas Eep kok jadi salah denger gini. Pantesan aja dia sampe nepok pundak gue, dia pasti mikir, ‘Gila nih mahasiswa gue, istrinya melahirkan tapi sempet-sempetnya ikut kuliah gue. Keren juga gue.’ (Hlm. 72)
Atau kelucuan kala membentuk ben semasa kuliah di Australia dan ikut Terbaik Band Competition (“Kucing Jawa”). Ada band yang lagunya juga bagus, mainnya juga rapi, tapi gitarisnya seperti kelebihan kafein. Gitarnya diputer kayak helikopter. Muter ke sana-sini. Lalu dia loncat sambil teriak, ‘WAAAAW!’ Heboh abis. Dia juga pake celana kulit ketat banget sampai-sampai semua orang tahu kalau dia udah disunat. (Hlm. 157)
Lalu jelang pilpres 2009, Raditya enak saja berandai-andai untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden (“Radith for President”). Membuat press release konyol. Mengingatkan pada kekonyolan Gump kala dicalonkan untuk jadi presiden Amerika.
Jika Gump sempat berkenalan dengan seorang master catur, Mister Tribble dan ikut kompetisi catur segala. Raditya cukup diperkenalkan dengan seorang Master Hapkido, Master Kim, guru bela diri Harianto teman sekelasnya, kala dapat tugas bikin feature article, ditemani Sabrina. Lalu di lain saat ia baru tahu kalau sang master ternyata merangkap koki di KIM’S BBQ kala makan bareng Sabrina. Konyolnya mereka malah berdebat kusir segala soal Master Kim yang jadi koki. Sabrina yang tidak tahu nama sang master hapkido itu malah mengira Master Kim yang koki terkenal di televisi dan teriak-teriak tidak mungkin (“Itu Kan”).

KITA? Mestinya KAMI!
Apakah humor harus diperlakukan hati-hati jika dituangkan ke dalam buku? Sebab bisa saja nuansa humornya hilang. Raditya barangkali tak terlalu peduli. Ia liar saja menyintingkan polah laku-dirinya secara hiperbolik.
Hal yang bisa jadi tak lucu bagi orang lain malah jeli ditangkap momennya. Semacam mischief. Modal yang membuatnya tetap kreatif. Toh, ia telah sukses menerbitkan buku serupa yang diterbitkan Gagas Media, Kambingjantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh (blog pertama yang dibukukan), Cinta Brontosaurus, dan Radikus Makankakus.
Jika horor saja bisa dihumorin, seperti pocong bagi Raditya tak perlu ditakuti, ambil saja sudut bidik lain: Udah didandanin kayak permen, gak punya tangan pula. Tinggal dijorokin dikit juga guling-guling. (“Merinding Disko”, hlm. 162) Benar-benar enteng meski rada inkonsisten dengan bagian pengantar soal fobia pada hantu.
Babi Ngesot-nya Raditya Dika sangat beragam isinya. Namun inti dari semua itu adalah bagaimana memperlakukan dunia yang sinting dengan perspektif yang sinting pula. Bahwa ketegangan pun menyimpan parodi, tinggal bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang kaya warna.
Maka, cerita lain seperti “Ingatlah Ini Sebelum Meminta Dipijit”, “Prince of”, “Panduan Singkat Menghadapi Cewek”,  “Surup-Menyurup”, Pentingnya Membawa Babi Bersayap Sewaktu Kencan Buta”, “My Heart is Like in Jail”, “Ketekku, Bertahanlah!”, “Kawin, Kapan?”, “Pertanyaan untuk Tabib”, “Babi Ngesot”, dan “Celana Cokelat Itu”; adalah semacam ejekan bagi kita yang menganggap hidup kelewat berat dan serius sehingga terlalu “normal”.
Akan tetapi, entah mengapa hal-hal yang bisa saja bagi orang lain dianggap porno, bagi Raditya tak masalah. Yah, sebagai anak muda dengan libido (menulis?) yang tinggi, film bokep (bentul/BF) atau caci-maki khas anak muda merupakan gaya hidup kosmopolitan masa kini.
Yang mengganjal dari kesempurnaan buku itu adalah penggunaan kata KITA untuk yang mestinya di-KAMI-kan. Sayang memang jika kosmopolitanisme sendiri telah memamah makna bahasa sehingga harus melenceng dari yang dimaksud agar keren atau apa. Padahal, bagi penerbit sekelas Bukuné yang juga menerbitkan majalah senama (dengan moto think fun, think books), haruskah ikut memeriahkan kebingungan awam?
Kalaupun kata KAMI yang dipakai bukan KITA (yang memang tidak dimaksudkan sebagai pronomina pertama jamak tetapi yang berbicara bersama orang lain -- tidak termasuk yang diajak berbicara), saya rasa tidak akan mengganggu kesempurnaan buku itu.
Sebab, haruskah kita mengikuti kaidah orang kebanyakan (yang lebih banyak salahnya), daripada kaidah yang sudah dari dulu ditentukan oleh pakar bahasa agar bahasa Indonesia tak kacau balau?
Meskipun demikian, salut untuk kerja keras dan kejelian orang di balik layar, Windy Ariestanty (editor), Dewi Fita dan Mala Aprilia (proof reader), Yasinta Mutiara Aini (penata letak dan desain sampul), sampai Adriano Rudiman (ilustrasi).
Babi Ngesot hadir dengan sempurna dan tanpa cela. Tak ada kesalahan ketik dan ejaan (kecuali “mengguman” yang mestinya “mengumam”), cukup apik dalam gramatika (guyuber juga?), dan penampilan luar-dalamnya menjanjikan. Sesuatu yang mestinya menjadi perhatian para penerbit muda. Juga penulis Indonesia.

#Cipeujeuh, 30 Juli 2008